“Manusia itu cuma bisa berencana. Selebihnya, Tuhan yang menentukan.”

Bagi siapa pun, kalimat itu pasti terasa relevan dalam banyak aspek kehidupan—keinginan, cita-cita, rezeki, jodoh, hingga kematian.

Pada tahun 2024 sampai awal 2025, aku sedang benar-benar menikmati hidupku. Semuanya terasa selaras  dan seimbang. Aku pun mulai berhasil membangun kembali rutinitas yang sempat ambruk setahun ke belakang. Namun, selebihnya, Tuhan yang menentukan.

Tepat sebulan lalu, seperti hari-hari sebelumnya, ayahku masih berkomunikasi denganku tanpa kami mengetahui apa yang akan terjadi ke depannya. Kami bahkan sempat melakukan panggilan video singkat sebelum akhirnya beliau menjemput anakku untuk pergi ke kios—warung makan kecil yang ayah dan ibu bangun untuk mengisi waktu pasca ayah pensiun. Rutinitas harian yang sederhana dan sudah begitu lekat dengan keseharian kami.

Setelahnya, aku mulai bekerja hingga magrib menjelang, lalu menjemput anak di rumah orang tuaku. Pukul sembilan malam itu, seperti biasa, ayah mengantarku pulang ke depan rumah, memastikan aku dan cucunya benar-benar sampai dengan selamat—padahal jarak rumah kami bahkan tak terpaut sampai sepuluh rumah. Baru setelah aku masuk pagar dan tak lagi terlihat dari pandangannya, ayah berbalik pulang. Yang tak kami tahu, itu kali terakhir ayah mengantarku dan cucunya pulang.

Ayah sedang menikmati pemandangan di AS

Dalam keheningan dini hari, tiba-tiba adikku, yang tampaknya habis berlari dari rumah orang tua, membangunkan aku. “Kak, bangun. Ayah gak sadar diri. Bawa Albarra juga.” Entah apa firasatku saat itu, aku langsung terbangun terbelalak, sigap menyelimuti anakku, dan segera berderap ke rumah orang tua. Benar saja, kudapati rumah sudah penuh orang. Tak sampai empat jam sejak ayah mengantarku pulang, ia meninggalkanku dalam tidur abadinya.

Pergantian hari kala itu terasa sangat cepat. Pelayat mulai berdatangan, mulai dari mereka yang kukenali wajahnya, yang mungkin sepuluh tahun lalu terakhir aku melihat mereka, tetangga dekat, hingga pelayat berseragam yang adalah rekan kerja ayah semasa hidupnya. Rasanya… aneh tapi nyata, melihat nama ayah terpampang besar-besar dan jelas di beberapa karangan bunga yang dikirim koleganya. Tak sedikit pula yang menunjukkan ketidakpercayaan kalau ayah pergi untuk selamanya, mengingat kemarin sore beberapa masih melihat ayah mengajak jalan-jalan cucunya di sekitaran kios, dan malamnya masih sempat menunaikan salat isya berjamaah di masjid.

Pada saat yang bersamaan, jauh di lubuk hati yang paling dalam, aku memang sudah menyiapkan diriku apabila suatu saat hal ini terjadi. Namun, yang tak kusangka, lini waktunya harus secepat ini. Memang, Tuhan yang menentukan.

Aku, adik, dan ayah

Sebelumnya, aku tak pernah merasakan kehilangan yang sangat menyesakkan ketika ditinggal orang terdekat. Namun, tidak untuk kali kali ini. Awalnya, aku merasa masih berada dalam mimpi hingga banyak yang bilang kalau cara ayah pergi adalah salah satu yang didambakan  banyak orang—tidak merepotkan orang lain, cepat, dan tidak sakit. Kata-katanya membuatku tersadar. Seberat apa pun rasa kehilangan ini, ada kelegaan kecil bahwa ayah tidak merasakan sakit di akhir hidupnya.

Kehidupan setelah ayah tiada awalnya membuatku lesu, belum lagi aku masih harus mengurus beberapa dokumen terkait kematian ayah. Aku, yang “apa-apa ayah”, apalagi terkait birokrasi pemerintahan, mulai melakukan semuanya serba sendiri. Itulah saat pertama kali aku merindukan sosoknya. Aku ingat betul kali pertama mendatangi kantor kelurahan bersama ayah selepas SMA untuk mencoba peruntungan ke kampus tempat ayah belajar dulu. Kali ini, aku harus mendatangi lagi kantor itu tanpa kehadirannya untuk mengurus dokumen-dokumen kematiannya.

Sebulan berlalu, kukira semuanya akan terasa lebih mudah. Nyatanya, justru sebaliknya. Ternyata betul apa yang mereka—yang lebih dulu merasakan kehilangan orang terdekat—bilang saat melayat. “Sabar, ya. Sekarang mungkin belum terlalu terasa karena rumah masih ramai. Tapi nanti, saat semuanya kembali seperti biasa, justru di situlah kamu akan kehilangan ayah.”

Sekarang aku mulai benar-benar merasakan apa yang mereka maksud. Hari-hari yang biasanya kulalui bersama ayah, kini terasa begitu sepi. Rumah yang dulu riuh dengan canda tawa kami, perlahan kembali seperti sediakala—seolah semuanya mulai menemukan tempatnya masing-masing. Yang membuatnya semakin pilu, anakku, yang terbiasa bermain dengan kakeknya setiap hari, kini mulai mencari sosoknya di wajah orang lain.

Potret ayah

Selepas ayah pergi, 28 tahun terasa begitu singkat, padahal aku mengenal ayah seumur hidupku. Ayah juga belum tepat menjajaki umur ke-60nya. Siapa sangka, 25 Januari tahun lalu jadi kenangan terakhir kami merayakan ulang tahunnya.

Selepas ayah pergi, aku jadi tersadar bahwa kematian itu dekat dengan siapa pun; sakit atau tidak sakit, tua atau muda.

Selepas ayah pergi, aku gak punya penyesalan apa pun. Mungkin aneh, tapi, semasa hidupnya, aku berusaha untuk memenuhi semua keinginannya. Masih banyak yang ingin kulakukan untuk dan bersama ayah—nonton F1 atau MotoGP secara langsung atau konser David Foster—meski sekarang tak mungkin lagi.

Selepas ayah pergi, aku semakin menyadari betapa banyak hal dalam diriku yang ternyata merupakan warisan darinya—selera musik, film, bacaan, makanan, cara berpikir, hingga kebiasaanku memendam perasaan. Aku juga baru memahami bahwa hampir tak ada tempat atau sudut Bandung yang belum pernah kujajaki bersama ayah. Kenangan itu ada di mana-mana. Di setiap langkah, setiap lagu, setiap hidangan, aku menemukan jejaknya. Kurasa, begitulah cara ayah tetap hidup bersamaku—dalam hal-hal kecil yang selalu mengingatkanku padanya.

(´。• ◡ •。`) ♡ 

Selepas Ayah Pergi

February 17, 2025

“Manusia itu cuma bisa berencana. Selebihnya, Tuhan yang menentukan.”

Bagi siapa pun, kalimat itu pasti terasa relevan dalam banyak aspek kehidupan—keinginan, cita-cita, rezeki, jodoh, hingga kematian.

Pada tahun 2024 sampai awal 2025, aku sedang benar-benar menikmati hidupku. Semuanya terasa selaras  dan seimbang. Aku pun mulai berhasil membangun kembali rutinitas yang sempat ambruk setahun ke belakang. Namun, selebihnya, Tuhan yang menentukan.

Tepat sebulan lalu, seperti hari-hari sebelumnya, ayahku masih berkomunikasi denganku tanpa kami mengetahui apa yang akan terjadi ke depannya. Kami bahkan sempat melakukan panggilan video singkat sebelum akhirnya beliau menjemput anakku untuk pergi ke kios—warung makan kecil yang ayah dan ibu bangun untuk mengisi waktu pasca ayah pensiun. Rutinitas harian yang sederhana dan sudah begitu lekat dengan keseharian kami.

Setelahnya, aku mulai bekerja hingga magrib menjelang, lalu menjemput anak di rumah orang tuaku. Pukul sembilan malam itu, seperti biasa, ayah mengantarku pulang ke depan rumah, memastikan aku dan cucunya benar-benar sampai dengan selamat—padahal jarak rumah kami bahkan tak terpaut sampai sepuluh rumah. Baru setelah aku masuk pagar dan tak lagi terlihat dari pandangannya, ayah berbalik pulang. Yang tak kami tahu, itu kali terakhir ayah mengantarku dan cucunya pulang.

Ayah sedang menikmati pemandangan di AS

Dalam keheningan dini hari, tiba-tiba adikku, yang tampaknya habis berlari dari rumah orang tua, membangunkan aku. “Kak, bangun. Ayah gak sadar diri. Bawa Albarra juga.” Entah apa firasatku saat itu, aku langsung terbangun terbelalak, sigap menyelimuti anakku, dan segera berderap ke rumah orang tua. Benar saja, kudapati rumah sudah penuh orang. Tak sampai empat jam sejak ayah mengantarku pulang, ia meninggalkanku dalam tidur abadinya.

Pergantian hari kala itu terasa sangat cepat. Pelayat mulai berdatangan, mulai dari mereka yang kukenali wajahnya, yang mungkin sepuluh tahun lalu terakhir aku melihat mereka, tetangga dekat, hingga pelayat berseragam yang adalah rekan kerja ayah semasa hidupnya. Rasanya… aneh tapi nyata, melihat nama ayah terpampang besar-besar dan jelas di beberapa karangan bunga yang dikirim koleganya. Tak sedikit pula yang menunjukkan ketidakpercayaan kalau ayah pergi untuk selamanya, mengingat kemarin sore beberapa masih melihat ayah mengajak jalan-jalan cucunya di sekitaran kios, dan malamnya masih sempat menunaikan salat isya berjamaah di masjid.

Pada saat yang bersamaan, jauh di lubuk hati yang paling dalam, aku memang sudah menyiapkan diriku apabila suatu saat hal ini terjadi. Namun, yang tak kusangka, lini waktunya harus secepat ini. Memang, Tuhan yang menentukan.

Aku, adik, dan ayah

Sebelumnya, aku tak pernah merasakan kehilangan yang sangat menyesakkan ketika ditinggal orang terdekat. Namun, tidak untuk kali kali ini. Awalnya, aku merasa masih berada dalam mimpi hingga banyak yang bilang kalau cara ayah pergi adalah salah satu yang didambakan  banyak orang—tidak merepotkan orang lain, cepat, dan tidak sakit. Kata-katanya membuatku tersadar. Seberat apa pun rasa kehilangan ini, ada kelegaan kecil bahwa ayah tidak merasakan sakit di akhir hidupnya.

Kehidupan setelah ayah tiada awalnya membuatku lesu, belum lagi aku masih harus mengurus beberapa dokumen terkait kematian ayah. Aku, yang “apa-apa ayah”, apalagi terkait birokrasi pemerintahan, mulai melakukan semuanya serba sendiri. Itulah saat pertama kali aku merindukan sosoknya. Aku ingat betul kali pertama mendatangi kantor kelurahan bersama ayah selepas SMA untuk mencoba peruntungan ke kampus tempat ayah belajar dulu. Kali ini, aku harus mendatangi lagi kantor itu tanpa kehadirannya untuk mengurus dokumen-dokumen kematiannya.

Sebulan berlalu, kukira semuanya akan terasa lebih mudah. Nyatanya, justru sebaliknya. Ternyata betul apa yang mereka—yang lebih dulu merasakan kehilangan orang terdekat—bilang saat melayat. “Sabar, ya. Sekarang mungkin belum terlalu terasa karena rumah masih ramai. Tapi nanti, saat semuanya kembali seperti biasa, justru di situlah kamu akan kehilangan ayah.”

Sekarang aku mulai benar-benar merasakan apa yang mereka maksud. Hari-hari yang biasanya kulalui bersama ayah, kini terasa begitu sepi. Rumah yang dulu riuh dengan canda tawa kami, perlahan kembali seperti sediakala—seolah semuanya mulai menemukan tempatnya masing-masing. Yang membuatnya semakin pilu, anakku, yang terbiasa bermain dengan kakeknya setiap hari, kini mulai mencari sosoknya di wajah orang lain.

Potret ayah

Selepas ayah pergi, 28 tahun terasa begitu singkat, padahal aku mengenal ayah seumur hidupku. Ayah juga belum tepat menjajaki umur ke-60nya. Siapa sangka, 25 Januari tahun lalu jadi kenangan terakhir kami merayakan ulang tahunnya.

Selepas ayah pergi, aku jadi tersadar bahwa kematian itu dekat dengan siapa pun; sakit atau tidak sakit, tua atau muda.

Selepas ayah pergi, aku gak punya penyesalan apa pun. Mungkin aneh, tapi, semasa hidupnya, aku berusaha untuk memenuhi semua keinginannya. Masih banyak yang ingin kulakukan untuk dan bersama ayah—nonton F1 atau MotoGP secara langsung atau konser David Foster—meski sekarang tak mungkin lagi.

Selepas ayah pergi, aku semakin menyadari betapa banyak hal dalam diriku yang ternyata merupakan warisan darinya—selera musik, film, bacaan, makanan, cara berpikir, hingga kebiasaanku memendam perasaan. Aku juga baru memahami bahwa hampir tak ada tempat atau sudut Bandung yang belum pernah kujajaki bersama ayah. Kenangan itu ada di mana-mana. Di setiap langkah, setiap lagu, setiap hidangan, aku menemukan jejaknya. Kurasa, begitulah cara ayah tetap hidup bersamaku—dalam hal-hal kecil yang selalu mengingatkanku padanya.

(´。• ◡ •。`) ♡ 

Setelah sekian lama mangkir dari keinginan untuk kembali membaca buku, akhirnya aku berhasil menamatkan satu buku lagi. Kemudian, karena ingatanku yang akhir-akhir ini jadi makin payah, aku berniat untuk membuat satu kiriman blog untuk merangkum apa yang sudah kubaca.

Pilihanku kali ini jatuh ke bukunya Sidney Sheldon dengan judul The Best Laid Plans (Rencana Paling Sempurna).

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧

Novel ini menceritakan Leslie Stewart, seorang public relations di sebuah firma di Kentucky. Kisahnya bermula ketika ia bertemu dengan Oliver Russell, seorang pengacara yang sedang mencalonkan diri sebagai gubernur, di kantornya. Mengetahui rekam jejak Leslie yang piawai dalam bidangnya, Oliver meminta bantuan Leslie untuk menarik hati masyarakat agar memilihnya saat pilkada tanpa dana kampanye sepeser pun. Meski sulit, Leslie tetap ingin membantunya pro bono.

Witing tresno jalaran soko kulino. Banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama—berdua—untuk kampanye membawa keduanya jatuh cinta. Tanpa pikir panjang, Oliver melamar Leslie yang kemudian diterimanya. Persiapan pernikahan pun disiapkan. Semua berjalan lancar hingga Kamis malam, seminggu sebelum tanggal pernikahan, Oliver harus pergi ke Paris untuk menemui kliennya yang sedang berada dalam masalah. Kala itu, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Leslie, namun ia tetap membiarkan Oliver pergi.

The Best Laid Plans oleh Sidney Sheldon

Hingga Rabu pagi, Leslie belum mendapat kabar apa pun dari Oliver. Tak lama, Leslie ditelepon oleh seorang jurnalis yang ingin meminta pendapatnya terhadap pernikahan Oliver Russell dan Jan Davis di Paris. Dalam geming, Leslie merencanakan balas dendam untuk menjatuhkan Oliver.

Barusan itu cuma sekelumit prolognya saja. Di samping Leslie dan Oliver, novel ini menambahkan sudut pandang dari karakter pendukung yang berperan penting dalam jalan ceritanya. Seperti buku Sheldon lainnya, novel ini tak alpa menambahkan latar belakang karakter, bumbu politik, teka-teki, dan twist yang tidak disangka. Kita juga akan dibawa untuk merasakan beberapa negara bagian di Amerika hingga wilayah konflik. Misteri yang disuguhkan buku ini kerap membuatku membalikkan halaman sampai aku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

Walau buku ini membuatku deg-degan, terombang-ambing kemudian terhanyut dalam ceritanya, kejutan yang muncul mendekati akhir cerita terasa sangat cepat meski di saat yang bersamaan, sudah cukup membuat pembaca mengambil kesimpulan sendiri apa yang terjadi pada karakter-karakter yang ada.

Menurutmu, apakah rencana Leslie berhasil?

(´。• ◡ •。`) ♡

The Best Laid Plans

November 06, 2023

Setelah sekian lama mangkir dari keinginan untuk kembali membaca buku, akhirnya aku berhasil menamatkan satu buku lagi. Kemudian, karena ingatanku yang akhir-akhir ini jadi makin payah, aku berniat untuk membuat satu kiriman blog untuk merangkum apa yang sudah kubaca.

Pilihanku kali ini jatuh ke bukunya Sidney Sheldon dengan judul The Best Laid Plans (Rencana Paling Sempurna).

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧

Novel ini menceritakan Leslie Stewart, seorang public relations di sebuah firma di Kentucky. Kisahnya bermula ketika ia bertemu dengan Oliver Russell, seorang pengacara yang sedang mencalonkan diri sebagai gubernur, di kantornya. Mengetahui rekam jejak Leslie yang piawai dalam bidangnya, Oliver meminta bantuan Leslie untuk menarik hati masyarakat agar memilihnya saat pilkada tanpa dana kampanye sepeser pun. Meski sulit, Leslie tetap ingin membantunya pro bono.

Witing tresno jalaran soko kulino. Banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama—berdua—untuk kampanye membawa keduanya jatuh cinta. Tanpa pikir panjang, Oliver melamar Leslie yang kemudian diterimanya. Persiapan pernikahan pun disiapkan. Semua berjalan lancar hingga Kamis malam, seminggu sebelum tanggal pernikahan, Oliver harus pergi ke Paris untuk menemui kliennya yang sedang berada dalam masalah. Kala itu, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Leslie, namun ia tetap membiarkan Oliver pergi.

The Best Laid Plans oleh Sidney Sheldon

Hingga Rabu pagi, Leslie belum mendapat kabar apa pun dari Oliver. Tak lama, Leslie ditelepon oleh seorang jurnalis yang ingin meminta pendapatnya terhadap pernikahan Oliver Russell dan Jan Davis di Paris. Dalam geming, Leslie merencanakan balas dendam untuk menjatuhkan Oliver.

Barusan itu cuma sekelumit prolognya saja. Di samping Leslie dan Oliver, novel ini menambahkan sudut pandang dari karakter pendukung yang berperan penting dalam jalan ceritanya. Seperti buku Sheldon lainnya, novel ini tak alpa menambahkan latar belakang karakter, bumbu politik, teka-teki, dan twist yang tidak disangka. Kita juga akan dibawa untuk merasakan beberapa negara bagian di Amerika hingga wilayah konflik. Misteri yang disuguhkan buku ini kerap membuatku membalikkan halaman sampai aku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

Walau buku ini membuatku deg-degan, terombang-ambing kemudian terhanyut dalam ceritanya, kejutan yang muncul mendekati akhir cerita terasa sangat cepat meski di saat yang bersamaan, sudah cukup membuat pembaca mengambil kesimpulan sendiri apa yang terjadi pada karakter-karakter yang ada.

Menurutmu, apakah rencana Leslie berhasil?

(´。• ◡ •。`) ♡

17 September 2023, anakku resmi jadi penduduk dunia.

Sebagai anak pertama dari keluarga yang akan punya cucu pertama, tentunya pengalaman mengandung dan melahirkan ini serba baru buatku. Meski sudah banyak membaca dan cari pengetahuan tentang hamil dan melahirkan sana-sini, kenyataannya pada praktiknya tetap saja berbeda. Belum lagi ditambah gejolak naik turunnya emosi, terutama ketika mendekati HPL.

Awal Januari tahun ini, ada saat ketika aku naik mobil tiba-tiba terasa seperti sedang mabuk perjalanan. Mual, kemudian diiringi muntah. Sebelum ini, aku tidak pernah punya sejarah mabuk perjalanan—mengingat sedari kecil aku memang terbiasa bolak-balik pulang kampung ke Cirebon atau Magelang pakai mobil. Curiga mungkin saat itu memang sudah waktu yang tepat buatku hamil, suamiku memutuskan untuk beli test pack. Benar saja. Beberapa hari kemudian, dua garis merah dari si alat pengetes hormon hCG itu perlahan muncul dengan mantap.

Perjalanan panjang kami pun dimulai. Di bulan-bulan pertama, kami memutuskan untuk kontrol di RSIA Limijati. Alhamdulillah, setiap kontrol kondisi janinku selalu bagus, kecuali saat pemeriksaan ketiga ketika dokternya bertanya, “Ibu kekurangan vitamin D, ya?” yang entah dari mana beliau menilainya ketika USG. Ajaib, batinku. Dari situ beliau pun membuatkan surat rujukan agar aku mengikuti beberapa tes untuk menilai kondisiku, terutama vitamin D ini yang jadi perhatian utama beliau. Benar saja, nilai tes vitamin D-ku kurang dari batas normal.

Bulan keempat, aku tidak mendapatkan kesempatan untuk kontrol ke dokter yang sama karena saat itu memang masih musim libur Idul Fitri. Kami pun mencoba mencari dokter alternatif lain yang sudah praktik. Sejak saat itu, kami selalu kontrol kandungan di Padjadjaran Medical Center. Seperti bulan-bulan lalu, waktu kontrolku tidak pernah memakan waktu lebih dari tiga puluh menit meski aku sudah melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang umum ditanyakan ibu yang baru pertama kali mengandung. Juga lengkap dengan bagaimana cara menangani defisiensi vitamin D-ku.

Semua terasa lancar dan mulus sampai aku melakukan pemeriksaan di bulan ketujuh yang kedua. Niatnya, kami mau perpisahan dengan dokter kandungan di sini karena kami berencana untuk bersalin di rumah sakit lain. Tapi kami cuma bisa berencana. Ketika pemeriksaan dimulai, janinku diklaim tidak sesehat dua minggu sebelumnya.

Jemari anak pertamaku

Lilitan dua kali di leher, pengapuran plasenta, dan IUGR asimetris. Apa ini?

Kala itu umur kandunganku 34 minggu. Lilitan di leher bertambah satu dari pemeriksaan dua minggu yang lalu. Perkara ini tidak terlalu aku khawatirkan karena dari yang kubaca, lilitan tidak terlalu membahayakan janin kalau lilitannya tidak kencang. Tapi pengapuran plasenta dan IUGR asimetris? 

Si dokter terdengar panik ketika melihat layar kontrol yang terhubung dengan alat ultrasonografi yang ia pegang. “Bu, ini ada pengapuran plasenta. Ini tuh boleh dan normal kalau sudah mau masuk HPL. Ini juga janin ibu IUGR asimetris. Lingkar kepala dan perutnya masih setara di umur 32 minggu.”

Ingin nangis? Sangat. Tapi aku mencoba menahannya sekuat yang aku bisa soalnya malu kalau kelihatan nangis di depan dokter. Aku kalut. Mana bisa aku berpikir lurus.

“Kira-kira penyebabnya kenapa, dok, bisa begitu?” tanyaku. “Kemungkinan Hb-nya turun. Ibu coba cek darah, ya. Ini saya ada rekomendasi klinik yang bisa ambil sampel darah ke rumah. Ibu punya kontak saya? Atau bapak aja deh, simpan nomor saya. Nanti kalau udah ada hasil tesnya, hubungi saya lagi. Ini juga ada artikel terkait IUGR ya, pak, bu.” Begitu kata si dokter seraya menyebutkan nomor pribadinya kemudian mengirimkan artikel terkait IUGR itu ke WhatsApp suamiku.

Setelah selesai, kubaca betul-betul artikel tentang IUGR itu; intrauterine growth restriction. Intinya, janin tidak bertumbuh dan berkembang mengikuti umur kehamilan. Kucari artikel lain dari Google dan tak ada satu pun berita baik yang muncul dari IUGR ini. Aku makin lewah pikir.

Dua hari kemudian, aku langsung melakukan tes darah untuk mengecek kadar hemoglobin dan zat besi, sesuai yang direkomendasikan. Dua jam kemudian hasilnya keluar. Dari batas normal 10, kadar hemoglobin-ku memang turun ke 9.5. Kadar zat besi-ku lebih lucu, nilainya cuma 5 dari batas normal 20. Hasil tes itu aku teruskan ke suamiku yang kemudian ia teruskan lagi ke dokter.

“Hb kurang dari 10. Feritin juga kurang dari 20. Anjuran: transfusi 2 kantong PRC dan infus zat besi,” jawab dokter via WhatsApp lepas suamiku mengirimkan hasil tes sambil buru-buru pulang dari kantor untuk mengecek keadaanku.

“Besok kita cari dokter lain yang praktik pagi sambil minta surat rujukan, ya,” kata suamiku. Aku mengiyakan karena ya, mau bagaimana lagi? Memang itu toh yang harus kami lakukan? Beberapa minggu lagi si bayi bakal lahir dan gak mungkin kami asal-asalan menjaganya. Aku pun mencari rumah sakit yang cocok karena pasti harus rawat inap kalau harus transfusi darah.

Keesokan harinya, kami kontrol dokter kandungan lainnya untuk minta surat rujukan sambil mencari opini kedua di Klinik dr. Nur. “Halo pak, bu. Sehat? Umur kandungannya sudah berapa minggu, bu?” sapa si dokter ramah ketika kami duduk di hadapannya. Kami menjawab, menceritakan apa yang terjadi tiga hari lalu, dan menjawab beberapa pertanyaan anamnesisnya. “Oke. Kita coba cek dulu yuk, bu.”

“Oh iya bu, betul ada pengapuran, nih. Lima persen. Tapi kita lihat dulu ketubannya ya, bu,” katanya kalem—tanpa panik—sambil memainkan jarinya di atas alat ultrasonografi. “Ketuban juga bagus. Ini mah gak apa-apa, kok. Cuma memang ukuran janinnya agak kecil aja.” Mendengar penjelasannya aku agak lega sambil bilang, “Iya, dok. Kaget soalnya dibilang IUGR.”

Dokter tersebut diam sejenak kemudian menjawab, “Nggak sih, bu. Saya gak berani bilang ini IUGR. Kita lihat grafiknya, ya.” Di layar kontrol terlihat grafik garis yang memperlihatkan batas normal umum janin dan garis penilaian janinku. “Ini garis batas normal. Kalau yang ini grafik penilaian janin ibu secara keseluruhan. Normal kok, bu, cuma memang bayi ibu di atas garis normalnya aja sedikit.”

Sampai situ, perasaanku lega sangat. Namun, demi menenangkan diriku yang memang gampang panik dan melewah, kucecar si dokter dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggangguku. “Terus ini perlu transfusi darah sama suntik zat besi juga gak, dok? Terus saya harus ngapain aja?” Yang masih dengan santainya ia jawab, “Gak perlu, bu. Gak urgent. Cuma kalau ibu mau, mangga. Tapi menurut saya sih, gak usah. Paling ini saya kasih obat ya buat pengencer darah sama zat besinya.”

Selepas kontrol hari itu, hatiku dan suami langsung terasa super ringan. Seolah batu yang tadinya membebani dan menyesakkan dada hilang begitu saja. Tapi, perjalanan kami gak cuma sampai situ.

Seminggu sebelum HPL, kami datang lagi ke dokter yang sama. “Gimana, bu? Sudah terasa kontraksi?” Yang lekas kujawab, “Belum nih, dok. Cuma kadang-kadang aja.” Ia pun menjelaskan karena adanya pengapuran plasenta, akan lebih baik buat janin keluar secepatnya supaya gak terjadi yang gak diinginkan. “Palingan induksi ya, bu, kalau memang belum kontraksi. Gak perlu buru-buru. Cari tahu dulu mau lahiran di mana. Cuma memang lebih cepat lebih baik, ya.” Qadarullah, kurang dari dua belas jam kemudian setelah kontrol, kontraksi muncul di jam setengah satu dini hari.

Singkat cerita, bayiku terlahir sehat meski sakitnya induksi gak main-main. Sakitnya dijahit di bagian situ—karena ada bagian yang gak terkena anestesi—menurutku gak setara dengan kontraksi akibat induksi. Sebelum pulang, kami dirujuk untuk membawa bayi kami lima hari pasca melahirkan untuk mengecek kadar hormon tiroidnya. Drama kedua pun terjadi.

Bayiku lahir dengan keadaan langsung menangis, tidak kuning, dan berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala normal—pertanda seharusnya skor APGAR-nya baik. Aku pun bisa langsung pulang keesokan harinya setelah melahirkan. Lima hari pasca melahirkan, kami mengikuti rujukan untuk tes hormon tiroid bayiku. Hasilnya 20.7, ketika batas normal adalah di bawah 20. Aku. Lewah. Lagi. Sekadar info, kalau nilai ini tinggi, ada indikasi bayi akan terkena hipotiroid kongenital yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.

Dokter spesialis anak yang sebelumnya sudah kukunjungi kudatangi lagi untuk penanganan lebih lanjut. Kami pun disarankan untuk melakukan pengecekan ulang dengan melakukan tes yang berbeda yang tentu saja kami lakukan. Ketika kontrol hari itu, aku ingat betul dokter tersebut memotivasiku setelah aku sedikit curcol kalau aku merasa sedih karena tingginya kadar hormon tiroid anakku. “Jangan sedih. Dengan mau ikut rujukan ngetes anakmu kayak gini, then you are a very good mom. Dirimu berarti mau cek kondisi anakmu sebagai bentuk pencegahan kalau ada apa-apa.”

Beberapa hari kemudian setelah tes kedua dilakukan, hasilnya keluar. Normal. Angin segar kembali menerpaku dan suamiku.

Kehamilan pertama ini sungguh jadi pelajaran dan pengalaman buatku dan suami. Lika-liku jalannya walau berat dan tak mulus ternyata mampu kami lewati. Di luar sana, aku yakin banyak pasangan juga yang sedang berjuang untuk buah hati mereka. Kudoakan semoga semuanya lancar tanpa hambatan hingga hari persalinan tiba.

(´。• ◡ •。`) ♡

Lika-Liku Anakku

October 24, 2023

17 September 2023, anakku resmi jadi penduduk dunia.

Sebagai anak pertama dari keluarga yang akan punya cucu pertama, tentunya pengalaman mengandung dan melahirkan ini serba baru buatku. Meski sudah banyak membaca dan cari pengetahuan tentang hamil dan melahirkan sana-sini, kenyataannya pada praktiknya tetap saja berbeda. Belum lagi ditambah gejolak naik turunnya emosi, terutama ketika mendekati HPL.

Awal Januari tahun ini, ada saat ketika aku naik mobil tiba-tiba terasa seperti sedang mabuk perjalanan. Mual, kemudian diiringi muntah. Sebelum ini, aku tidak pernah punya sejarah mabuk perjalanan—mengingat sedari kecil aku memang terbiasa bolak-balik pulang kampung ke Cirebon atau Magelang pakai mobil. Curiga mungkin saat itu memang sudah waktu yang tepat buatku hamil, suamiku memutuskan untuk beli test pack. Benar saja. Beberapa hari kemudian, dua garis merah dari si alat pengetes hormon hCG itu perlahan muncul dengan mantap.

Perjalanan panjang kami pun dimulai. Di bulan-bulan pertama, kami memutuskan untuk kontrol di RSIA Limijati. Alhamdulillah, setiap kontrol kondisi janinku selalu bagus, kecuali saat pemeriksaan ketiga ketika dokternya bertanya, “Ibu kekurangan vitamin D, ya?” yang entah dari mana beliau menilainya ketika USG. Ajaib, batinku. Dari situ beliau pun membuatkan surat rujukan agar aku mengikuti beberapa tes untuk menilai kondisiku, terutama vitamin D ini yang jadi perhatian utama beliau. Benar saja, nilai tes vitamin D-ku kurang dari batas normal.

Bulan keempat, aku tidak mendapatkan kesempatan untuk kontrol ke dokter yang sama karena saat itu memang masih musim libur Idul Fitri. Kami pun mencoba mencari dokter alternatif lain yang sudah praktik. Sejak saat itu, kami selalu kontrol kandungan di Padjadjaran Medical Center. Seperti bulan-bulan lalu, waktu kontrolku tidak pernah memakan waktu lebih dari tiga puluh menit meski aku sudah melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang umum ditanyakan ibu yang baru pertama kali mengandung. Juga lengkap dengan bagaimana cara menangani defisiensi vitamin D-ku.

Semua terasa lancar dan mulus sampai aku melakukan pemeriksaan di bulan ketujuh yang kedua. Niatnya, kami mau perpisahan dengan dokter kandungan di sini karena kami berencana untuk bersalin di rumah sakit lain. Tapi kami cuma bisa berencana. Ketika pemeriksaan dimulai, janinku diklaim tidak sesehat dua minggu sebelumnya.

Jemari anak pertamaku

Lilitan dua kali di leher, pengapuran plasenta, dan IUGR asimetris. Apa ini?

Kala itu umur kandunganku 34 minggu. Lilitan di leher bertambah satu dari pemeriksaan dua minggu yang lalu. Perkara ini tidak terlalu aku khawatirkan karena dari yang kubaca, lilitan tidak terlalu membahayakan janin kalau lilitannya tidak kencang. Tapi pengapuran plasenta dan IUGR asimetris? 

Si dokter terdengar panik ketika melihat layar kontrol yang terhubung dengan alat ultrasonografi yang ia pegang. “Bu, ini ada pengapuran plasenta. Ini tuh boleh dan normal kalau sudah mau masuk HPL. Ini juga janin ibu IUGR asimetris. Lingkar kepala dan perutnya masih setara di umur 32 minggu.”

Ingin nangis? Sangat. Tapi aku mencoba menahannya sekuat yang aku bisa soalnya malu kalau kelihatan nangis di depan dokter. Aku kalut. Mana bisa aku berpikir lurus.

“Kira-kira penyebabnya kenapa, dok, bisa begitu?” tanyaku. “Kemungkinan Hb-nya turun. Ibu coba cek darah, ya. Ini saya ada rekomendasi klinik yang bisa ambil sampel darah ke rumah. Ibu punya kontak saya? Atau bapak aja deh, simpan nomor saya. Nanti kalau udah ada hasil tesnya, hubungi saya lagi. Ini juga ada artikel terkait IUGR ya, pak, bu.” Begitu kata si dokter seraya menyebutkan nomor pribadinya kemudian mengirimkan artikel terkait IUGR itu ke WhatsApp suamiku.

Setelah selesai, kubaca betul-betul artikel tentang IUGR itu; intrauterine growth restriction. Intinya, janin tidak bertumbuh dan berkembang mengikuti umur kehamilan. Kucari artikel lain dari Google dan tak ada satu pun berita baik yang muncul dari IUGR ini. Aku makin lewah pikir.

Dua hari kemudian, aku langsung melakukan tes darah untuk mengecek kadar hemoglobin dan zat besi, sesuai yang direkomendasikan. Dua jam kemudian hasilnya keluar. Dari batas normal 10, kadar hemoglobin-ku memang turun ke 9.5. Kadar zat besi-ku lebih lucu, nilainya cuma 5 dari batas normal 20. Hasil tes itu aku teruskan ke suamiku yang kemudian ia teruskan lagi ke dokter.

“Hb kurang dari 10. Feritin juga kurang dari 20. Anjuran: transfusi 2 kantong PRC dan infus zat besi,” jawab dokter via WhatsApp lepas suamiku mengirimkan hasil tes sambil buru-buru pulang dari kantor untuk mengecek keadaanku.

“Besok kita cari dokter lain yang praktik pagi sambil minta surat rujukan, ya,” kata suamiku. Aku mengiyakan karena ya, mau bagaimana lagi? Memang itu toh yang harus kami lakukan? Beberapa minggu lagi si bayi bakal lahir dan gak mungkin kami asal-asalan menjaganya. Aku pun mencari rumah sakit yang cocok karena pasti harus rawat inap kalau harus transfusi darah.

Keesokan harinya, kami kontrol dokter kandungan lainnya untuk minta surat rujukan sambil mencari opini kedua di Klinik dr. Nur. “Halo pak, bu. Sehat? Umur kandungannya sudah berapa minggu, bu?” sapa si dokter ramah ketika kami duduk di hadapannya. Kami menjawab, menceritakan apa yang terjadi tiga hari lalu, dan menjawab beberapa pertanyaan anamnesisnya. “Oke. Kita coba cek dulu yuk, bu.”

“Oh iya bu, betul ada pengapuran, nih. Lima persen. Tapi kita lihat dulu ketubannya ya, bu,” katanya kalem—tanpa panik—sambil memainkan jarinya di atas alat ultrasonografi. “Ketuban juga bagus. Ini mah gak apa-apa, kok. Cuma memang ukuran janinnya agak kecil aja.” Mendengar penjelasannya aku agak lega sambil bilang, “Iya, dok. Kaget soalnya dibilang IUGR.”

Dokter tersebut diam sejenak kemudian menjawab, “Nggak sih, bu. Saya gak berani bilang ini IUGR. Kita lihat grafiknya, ya.” Di layar kontrol terlihat grafik garis yang memperlihatkan batas normal umum janin dan garis penilaian janinku. “Ini garis batas normal. Kalau yang ini grafik penilaian janin ibu secara keseluruhan. Normal kok, bu, cuma memang bayi ibu di atas garis normalnya aja sedikit.”

Sampai situ, perasaanku lega sangat. Namun, demi menenangkan diriku yang memang gampang panik dan melewah, kucecar si dokter dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggangguku. “Terus ini perlu transfusi darah sama suntik zat besi juga gak, dok? Terus saya harus ngapain aja?” Yang masih dengan santainya ia jawab, “Gak perlu, bu. Gak urgent. Cuma kalau ibu mau, mangga. Tapi menurut saya sih, gak usah. Paling ini saya kasih obat ya buat pengencer darah sama zat besinya.”

Selepas kontrol hari itu, hatiku dan suami langsung terasa super ringan. Seolah batu yang tadinya membebani dan menyesakkan dada hilang begitu saja. Tapi, perjalanan kami gak cuma sampai situ.

Seminggu sebelum HPL, kami datang lagi ke dokter yang sama. “Gimana, bu? Sudah terasa kontraksi?” Yang lekas kujawab, “Belum nih, dok. Cuma kadang-kadang aja.” Ia pun menjelaskan karena adanya pengapuran plasenta, akan lebih baik buat janin keluar secepatnya supaya gak terjadi yang gak diinginkan. “Palingan induksi ya, bu, kalau memang belum kontraksi. Gak perlu buru-buru. Cari tahu dulu mau lahiran di mana. Cuma memang lebih cepat lebih baik, ya.” Qadarullah, kurang dari dua belas jam kemudian setelah kontrol, kontraksi muncul di jam setengah satu dini hari.

Singkat cerita, bayiku terlahir sehat meski sakitnya induksi gak main-main. Sakitnya dijahit di bagian situ—karena ada bagian yang gak terkena anestesi—menurutku gak setara dengan kontraksi akibat induksi. Sebelum pulang, kami dirujuk untuk membawa bayi kami lima hari pasca melahirkan untuk mengecek kadar hormon tiroidnya. Drama kedua pun terjadi.

Bayiku lahir dengan keadaan langsung menangis, tidak kuning, dan berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala normal—pertanda seharusnya skor APGAR-nya baik. Aku pun bisa langsung pulang keesokan harinya setelah melahirkan. Lima hari pasca melahirkan, kami mengikuti rujukan untuk tes hormon tiroid bayiku. Hasilnya 20.7, ketika batas normal adalah di bawah 20. Aku. Lewah. Lagi. Sekadar info, kalau nilai ini tinggi, ada indikasi bayi akan terkena hipotiroid kongenital yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.

Dokter spesialis anak yang sebelumnya sudah kukunjungi kudatangi lagi untuk penanganan lebih lanjut. Kami pun disarankan untuk melakukan pengecekan ulang dengan melakukan tes yang berbeda yang tentu saja kami lakukan. Ketika kontrol hari itu, aku ingat betul dokter tersebut memotivasiku setelah aku sedikit curcol kalau aku merasa sedih karena tingginya kadar hormon tiroid anakku. “Jangan sedih. Dengan mau ikut rujukan ngetes anakmu kayak gini, then you are a very good mom. Dirimu berarti mau cek kondisi anakmu sebagai bentuk pencegahan kalau ada apa-apa.”

Beberapa hari kemudian setelah tes kedua dilakukan, hasilnya keluar. Normal. Angin segar kembali menerpaku dan suamiku.

Kehamilan pertama ini sungguh jadi pelajaran dan pengalaman buatku dan suami. Lika-liku jalannya walau berat dan tak mulus ternyata mampu kami lewati. Di luar sana, aku yakin banyak pasangan juga yang sedang berjuang untuk buah hati mereka. Kudoakan semoga semuanya lancar tanpa hambatan hingga hari persalinan tiba.

(´。• ◡ •。`) ♡

One Chocolate Eater