“Manusia itu cuma bisa berencana. Selebihnya, Tuhan yang menentukan.”
Bagi siapa pun, kalimat itu pasti terasa relevan dalam banyak aspek kehidupan—keinginan, cita-cita, rezeki, jodoh, hingga kematian.
Pada tahun 2024 sampai awal 2025, aku sedang benar-benar menikmati hidupku. Semuanya terasa selaras dan seimbang. Aku pun mulai berhasil membangun kembali rutinitas yang sempat ambruk setahun ke belakang. Namun, selebihnya, Tuhan yang menentukan.
Tepat sebulan lalu, seperti hari-hari sebelumnya, ayahku masih berkomunikasi denganku tanpa kami mengetahui apa yang akan terjadi ke depannya. Kami bahkan sempat melakukan panggilan video singkat sebelum akhirnya beliau menjemput anakku untuk pergi ke kios—warung makan kecil yang ayah dan ibu bangun untuk mengisi waktu pasca ayah pensiun. Rutinitas harian yang sederhana dan sudah begitu lekat dengan keseharian kami.
Setelahnya, aku mulai bekerja hingga magrib menjelang, lalu menjemput anak di rumah orang tuaku. Pukul sembilan malam itu, seperti biasa, ayah mengantarku pulang ke depan rumah, memastikan aku dan cucunya benar-benar sampai dengan selamat—padahal jarak rumah kami bahkan tak terpaut sampai sepuluh rumah. Baru setelah aku masuk pagar dan tak lagi terlihat dari pandangannya, ayah berbalik pulang. Yang tak kami tahu, itu kali terakhir ayah mengantarku dan cucunya pulang.
Dalam keheningan dini hari, tiba-tiba adikku, yang tampaknya habis berlari dari rumah orang tua, membangunkan aku. “Kak, bangun. Ayah gak sadar diri. Bawa Albarra juga.” Entah apa firasatku saat itu, aku langsung terbangun terbelalak, sigap menyelimuti anakku, dan segera berderap ke rumah orang tua. Benar saja, kudapati rumah sudah penuh orang. Tak sampai empat jam sejak ayah mengantarku pulang, ia meninggalkanku dalam tidur abadinya.
Pergantian hari kala itu terasa sangat cepat. Pelayat mulai berdatangan, mulai dari mereka yang kukenali wajahnya, yang mungkin sepuluh tahun lalu terakhir aku melihat mereka, tetangga dekat, hingga pelayat berseragam yang adalah rekan kerja ayah semasa hidupnya. Rasanya… aneh tapi nyata, melihat nama ayah terpampang besar-besar dan jelas di beberapa karangan bunga yang dikirim koleganya. Tak sedikit pula yang menunjukkan ketidakpercayaan kalau ayah pergi untuk selamanya, mengingat kemarin sore beberapa masih melihat ayah mengajak jalan-jalan cucunya di sekitaran kios, dan malamnya masih sempat menunaikan salat isya berjamaah di masjid.
Pada saat yang bersamaan, jauh di lubuk hati yang paling dalam, aku memang sudah menyiapkan diriku apabila suatu saat hal ini terjadi. Namun, yang tak kusangka, lini waktunya harus secepat ini. Memang, Tuhan yang menentukan.
Sebelumnya, aku tak pernah merasakan kehilangan yang sangat menyesakkan ketika ditinggal orang terdekat. Namun, tidak untuk kali kali ini. Awalnya, aku merasa masih berada dalam mimpi hingga banyak yang bilang kalau cara ayah pergi adalah salah satu yang didambakan banyak orang—tidak merepotkan orang lain, cepat, dan tidak sakit. Kata-katanya membuatku tersadar. Seberat apa pun rasa kehilangan ini, ada kelegaan kecil bahwa ayah tidak merasakan sakit di akhir hidupnya.
Kehidupan setelah ayah tiada awalnya membuatku lesu, belum lagi aku masih harus mengurus beberapa dokumen terkait kematian ayah. Aku, yang “apa-apa ayah”, apalagi terkait birokrasi pemerintahan, mulai melakukan semuanya serba sendiri. Itulah saat pertama kali aku merindukan sosoknya. Aku ingat betul kali pertama mendatangi kantor kelurahan bersama ayah selepas SMA untuk mencoba peruntungan ke kampus tempat ayah belajar dulu. Kali ini, aku harus mendatangi lagi kantor itu tanpa kehadirannya untuk mengurus dokumen-dokumen kematiannya.
Sebulan berlalu, kukira semuanya akan terasa lebih mudah. Nyatanya, justru sebaliknya. Ternyata betul apa yang mereka—yang lebih dulu merasakan kehilangan orang terdekat—bilang saat melayat. “Sabar, ya. Sekarang mungkin belum terlalu terasa karena rumah masih ramai. Tapi nanti, saat semuanya kembali seperti biasa, justru di situlah kamu akan kehilangan ayah.”
Sekarang aku mulai benar-benar merasakan apa yang mereka maksud. Hari-hari yang biasanya kulalui bersama ayah, kini terasa begitu sepi. Rumah yang dulu riuh dengan canda tawa kami, perlahan kembali seperti sediakala—seolah semuanya mulai menemukan tempatnya masing-masing. Yang membuatnya semakin pilu, anakku, yang terbiasa bermain dengan kakeknya setiap hari, kini mulai mencari sosoknya di wajah orang lain.
Selepas ayah pergi, 28 tahun terasa begitu singkat, padahal aku mengenal ayah seumur hidupku. Ayah juga belum tepat menjajaki umur ke-60nya. Siapa sangka, 25 Januari tahun lalu jadi kenangan terakhir kami merayakan ulang tahunnya.
Selepas ayah pergi, aku jadi tersadar bahwa kematian itu dekat dengan siapa pun; sakit atau tidak sakit, tua atau muda.
Selepas ayah pergi, aku gak punya penyesalan apa pun. Mungkin aneh, tapi, semasa hidupnya, aku berusaha untuk memenuhi semua keinginannya. Masih banyak yang ingin kulakukan untuk dan bersama ayah—nonton F1 atau MotoGP secara langsung atau konser David Foster—meski sekarang tak mungkin lagi.
Selepas ayah pergi, aku semakin menyadari betapa banyak hal dalam diriku yang ternyata merupakan warisan darinya—selera musik, film, bacaan, makanan, cara berpikir, hingga kebiasaanku memendam perasaan. Aku juga baru memahami bahwa hampir tak ada tempat atau sudut Bandung yang belum pernah kujajaki bersama ayah. Kenangan itu ada di mana-mana. Di setiap langkah, setiap lagu, setiap hidangan, aku menemukan jejaknya. Kurasa, begitulah cara ayah tetap hidup bersamaku—dalam hal-hal kecil yang selalu mengingatkanku padanya.
(´。• ◡ •。`) ♡
Post a Comment